Khamis, 27 September 2012


Bersama Fakhruddin al-Razi Mendalami Tauhid

 


Bersama Fakhruddin al-Razi Mendalami Tauhid
Judul Buku: Kecerdasan Bertauhid
Penulis: Fakhruddin al-Razi
Penerjemah: Fauzi Faisal Bahreisy
Penerbit:
Zaman, Jakarta
Cetakan: I, 2011 Tebal: 249 halaman

   KabarIndonesia
- Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Ketahuilah bahwa tiada tuhan selain Allah, lalu mohonlah ampunan atas dosamu serta dosa kaum mukmin, baik laki-laki maupun perempuan.”(QS. Muhammad:19). Dengan menggunakan ayat itu, Fakhruddin al-Razi mengawali buku ini untuk mencoba menjelaskan perihal tauhid. Dari ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa perintah untuk mengenal tauhid lebih diutamakan ketimbang perintah untuk memohon ampunan. Sebab, mengenal tauhid mengisyaratkan pengetahuan pokok (ushul), sedangkan memohon ampunan menandakan pengetahuan cabang (furu’). Yang pokok tentu harus didahulukan daripada yang cabang. Fakhruddin al-Razi lebih lanjut menerangkan bahwa selama seseorang tak mengetahui eksistensi Sang Pencipta, maka ia tak bisa melakukan ketaatan dan penghambaan kepada-Nya.

   Dalam ayat lain, Allah SWT juga menerangkan hal serupa. Sebut saja doa Nabi Ibrahim, “Wahai Tuhan, berikan kepadaku hikmah dan masukkan aku ke dalam golongan orang yang saleh.”(QS. Asy-Syu’ara’: 83). Ungkapan “berikan kepadaku hikmah” menunjukkan permintaan Nabi Ibrahim agar kekuatan pemahamannya disempurnakan dengan mengenali hakikat segala sesuatu. Adapun ungkapan “masukkan aku ke dalam golongan orang yang saleh” menunjukkan permintaan Nabi Ibrahim agar kekuatan amaliahnya disempurnakan dengan tak melanggar dan melampaui batas. Jadi, Nabi Ibrahim mendahulukan pengetahuan daripada amal. Ketika memberikan wahyu kepada Nabi Musa, Allah SWT berfirman, “Aku telah memilihmu, maka perhatikan apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tiada tuhan selain-Ku. Karena itu, sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.”(QS. Thaha: 13-14). Ungkapan “tiada tuhan selain-Ku” mengisyaratkan pengetahuan pokok, sementara ungkapan “Karena itu, sembahlah Aku” mengisyaratkan pengetahuan cabang. Begitu juga ketika Nabi Isa diberi kemampuan berbicara oleh Allah SWT pada masa kecilnya, ia berkata, “Aku adalah hamba Allah. Dia telah memberiku Alkitab (Injil).”(QS. Maryam; 30). Pengetahuan pokok “Aku adalah hamba Allah” didahulukan sebelum pengetahuan cabang “Dia telah memberiku Alkitab (Injil)”. Selain itu, ada ayat-ayat lainnya yang menegaskan hal serupa. Tauhid sebagai pengetahuan pokok (ushul) lebih diutamakan daripada pengetahuan cabang (furu’) diberikan argumen oleh Fakhruddin al-Razi. Ada beberapa argumen dipaparkan, salah satunya bahwa kemuliaan sebuah pengetahuan bergantung pada kemuliaan objeknya. Ketika objeknya lebih mulia, maka pengetahuan yang mengarah kepadanya juga lebih mulia. Nah, karena objek yang paling mulia adalah zat dan sifat Sang Pencipta (Allah), maka mengenal dan mengesakan-Nya juga menjadi pengetahuan yang paling mulia. Argumen-argumen lainnya yang dipaparkan Fakhruddin al-Razi bisa dikaji lebih mendalam dalam buku ini (halaman 9-59).

   Menginjak bab kedua buku ini, kita diajak untuk merenungi dan menghayati keutamaan dari kalimat La Ilaha Illallah. Ada sembilan keutamaan yang dijelaskan Fakhruddin al-Razi. Adapun pada bab ketiga, Fakhruddin al-Razi menerangkan tentang rahasia nama-nama kalimat La Ilaha Illallah. Ada 24 rahasia nama-nama kalimat La Ilaha Illallah: (1). Kalimat Tauhid, (2). Kalimat Ikhlas, (3). Kalimat Ihsan, (4). Seruan Kebenaran, (5). Kalimat Keadilan, (6). Ucapan yang Baik, (7). Kalimat Thoyyibah, (8). Ucapan yang Teguh, (9). Kalimat Takwa, (10). Kalimat yang Kekal, (11). Kalimat yang Paling Tinggi, (12). Perumpamaan yang Paling Tinggi, (13). Kalimat yang Tidak Mengandung Perselisihan, (14). Kalimat Keselamatan, (15). Perjanjian, (16). Kalimat Istiqamah, (17). Kunci Langit dan Bumi, (18). Yang Bisa Membendung, (19). Kebajikan, (20). Agama, (21). Jalan, (22). Kalimat Kebenaran, (23). Tali Buhul yang Amat Kuat, dan (24). Kalimat yang Benar (halaman 85-135). Dalam bab keempat buku ini diterangkan mengenai perumpamaan kalimat tauhid. Kalimat tauhid atau iman menurut Fakhruddin al-Razi bisa diperumpamakan seperti api, cahaya, tanah, air, tali, dan pohon zaitun.

   Selain hal di atas, kita bisa menyimak pemaparan lainnya lewat buku ini dari Fakhruddin al-Razi dalam bab kelima “Lebih Dalam Dengan Kalimat Tauhid”, bab keenam “Keistimewaan Orang Beriman”, bab ketujuh “Fikih Kalimat Tauhid”, bab kedelapan “Syahadat Dan Pentingnya Keyakinan”, dan bab kesembilan “Akal Yang Terbatas, Tuhan Yang Tak Terbatas”.

   Apa yang dipaparkan buku ini tentu bisa kita renungkan, kaji, telaah, dan diambil pelajaran. Ikhtiar Fakhruddin al-Razi (544 H-606 H/1149 M-1209 M) menuangkan perenungan dan pemikirannya tentang tauhid layaklah kita apresiasi. Jika pun dijumpai perbedaan pendapat dalam uraian-uraian yang terpapar, Fakhruddin al-Razi tentu telah mencoba mengajak umat ini benar-benar memahami esensi tauhid. Penerbit Zaman, Jakarta, yang telah menerjemahkan kitab klasik ini juga layak diapresiasi sebagai ikhtiar menyelamatkan karya-karya para ulama tempo silam. Selamat membaca, berpikir, dan memetik kekuatan pemahaman.



SUMBER ASAL

Tiada ulasan:

Catat Ulasan