Judul Buku: Kecerdasan Bertauhid Penulis: Fakhruddin al-Razi Penerjemah: Fauzi Faisal Bahreisy Penerbit: Zaman, Jakarta Cetakan: I, 2011 Tebal: 249 halaman
KabarIndonesia
- Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Ketahuilah bahwa tiada tuhan
selain Allah, lalu mohonlah ampunan atas dosamu serta dosa kaum mukmin,
baik laki-laki maupun perempuan.”(QS. Muhammad:19). Dengan menggunakan
ayat itu, Fakhruddin al-Razi mengawali buku ini untuk mencoba
menjelaskan perihal tauhid. Dari ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa
perintah untuk mengenal tauhid lebih diutamakan ketimbang perintah
untuk memohon ampunan. Sebab, mengenal tauhid mengisyaratkan pengetahuan
pokok (ushul), sedangkan memohon ampunan menandakan pengetahuan cabang
(furu’). Yang pokok tentu harus didahulukan daripada yang cabang.
Fakhruddin al-Razi lebih lanjut menerangkan bahwa selama seseorang tak
mengetahui eksistensi Sang Pencipta, maka ia tak bisa melakukan ketaatan
dan penghambaan kepada-Nya.
Dalam ayat lain, Allah SWT juga
menerangkan hal serupa. Sebut saja doa Nabi Ibrahim, “Wahai Tuhan,
berikan kepadaku hikmah dan masukkan aku ke dalam golongan orang yang
saleh.”(QS. Asy-Syu’ara’: 83). Ungkapan “berikan kepadaku hikmah”
menunjukkan permintaan Nabi Ibrahim agar kekuatan pemahamannya
disempurnakan dengan mengenali hakikat segala sesuatu. Adapun ungkapan
“masukkan aku ke dalam golongan orang yang saleh” menunjukkan permintaan
Nabi Ibrahim agar kekuatan amaliahnya disempurnakan dengan tak
melanggar dan melampaui batas. Jadi, Nabi Ibrahim mendahulukan
pengetahuan daripada amal. Ketika memberikan wahyu kepada Nabi Musa,
Allah SWT berfirman, “Aku telah memilihmu, maka perhatikan apa yang akan
diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tiada tuhan
selain-Ku. Karena itu, sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk
mengingat-Ku.”(QS. Thaha: 13-14). Ungkapan “tiada tuhan selain-Ku”
mengisyaratkan pengetahuan pokok, sementara ungkapan “Karena itu,
sembahlah Aku” mengisyaratkan pengetahuan cabang. Begitu juga ketika
Nabi Isa diberi kemampuan berbicara oleh Allah SWT pada masa kecilnya,
ia berkata, “Aku adalah hamba Allah. Dia telah memberiku Alkitab
(Injil).”(QS. Maryam; 30). Pengetahuan pokok “Aku adalah hamba Allah”
didahulukan sebelum pengetahuan cabang “Dia telah memberiku Alkitab
(Injil)”. Selain itu, ada ayat-ayat lainnya yang menegaskan hal serupa.
Tauhid sebagai pengetahuan pokok (ushul) lebih diutamakan daripada
pengetahuan cabang (furu’) diberikan argumen oleh Fakhruddin al-Razi.
Ada beberapa argumen dipaparkan, salah satunya bahwa kemuliaan sebuah
pengetahuan bergantung pada kemuliaan objeknya. Ketika objeknya lebih
mulia, maka pengetahuan yang mengarah kepadanya juga lebih mulia. Nah,
karena objek yang paling mulia adalah zat dan sifat Sang Pencipta
(Allah), maka mengenal dan mengesakan-Nya juga menjadi pengetahuan yang
paling mulia. Argumen-argumen lainnya yang dipaparkan Fakhruddin al-Razi
bisa dikaji lebih mendalam dalam buku ini (halaman 9-59).
Menginjak
bab kedua buku ini, kita diajak untuk merenungi dan menghayati
keutamaan dari kalimat La Ilaha Illallah. Ada sembilan keutamaan yang
dijelaskan Fakhruddin al-Razi. Adapun pada bab ketiga, Fakhruddin
al-Razi menerangkan tentang rahasia nama-nama kalimat La Ilaha Illallah.
Ada 24 rahasia nama-nama kalimat La Ilaha Illallah: (1). Kalimat
Tauhid, (2). Kalimat Ikhlas, (3). Kalimat Ihsan, (4). Seruan Kebenaran,
(5). Kalimat Keadilan, (6). Ucapan yang Baik, (7). Kalimat Thoyyibah,
(8). Ucapan yang Teguh, (9). Kalimat Takwa, (10). Kalimat yang Kekal,
(11). Kalimat yang Paling Tinggi, (12). Perumpamaan yang Paling Tinggi,
(13). Kalimat yang Tidak Mengandung Perselisihan, (14). Kalimat
Keselamatan, (15). Perjanjian, (16). Kalimat Istiqamah, (17). Kunci
Langit dan Bumi, (18). Yang Bisa Membendung, (19). Kebajikan, (20).
Agama, (21). Jalan, (22). Kalimat Kebenaran, (23). Tali Buhul yang Amat
Kuat, dan (24). Kalimat yang Benar (halaman 85-135). Dalam bab keempat
buku ini diterangkan mengenai perumpamaan kalimat tauhid. Kalimat tauhid
atau iman menurut Fakhruddin al-Razi bisa diperumpamakan seperti api,
cahaya, tanah, air, tali, dan pohon zaitun.
Selain hal di atas,
kita bisa menyimak pemaparan lainnya lewat buku ini dari Fakhruddin
al-Razi dalam bab kelima “Lebih Dalam Dengan Kalimat Tauhid”, bab keenam
“Keistimewaan Orang Beriman”, bab ketujuh “Fikih Kalimat Tauhid”, bab
kedelapan “Syahadat Dan Pentingnya Keyakinan”, dan bab kesembilan “Akal
Yang Terbatas, Tuhan Yang Tak Terbatas”.
Apa yang dipaparkan buku
ini tentu bisa kita renungkan, kaji, telaah, dan diambil pelajaran.
Ikhtiar Fakhruddin al-Razi (544 H-606 H/1149 M-1209 M) menuangkan
perenungan dan pemikirannya tentang tauhid layaklah kita apresiasi. Jika
pun dijumpai perbedaan pendapat dalam uraian-uraian yang terpapar,
Fakhruddin al-Razi tentu telah mencoba mengajak umat ini benar-benar
memahami esensi tauhid. Penerbit Zaman, Jakarta, yang telah
menerjemahkan kitab klasik ini juga layak diapresiasi sebagai ikhtiar
menyelamatkan karya-karya para ulama tempo silam. Selamat membaca,
berpikir, dan memetik kekuatan pemahaman.
SUMBER ASAL
|
Tiada ulasan:
Catat Ulasan