Khamis, 27 September 2012

Lafadz Allah Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi


Pendahuluan
 
Konsep Tuhan merupakan konsep yang mendasar bagi setiap agama yang ada. Dari konsep Tuhan tersebut, lahirlah konsep-konsep Islamic worldview yang lain, seperti; konsep tentang wahyu, konsep kenabian, konsep alam, konsep manusia, konsep kehidupan, konsep penciptaan, konsep ilmu, dan konsep-konsep yang lainnya. Dikarenakan begitu sentralnya konsep Tuhan tersebut, maka perbincangan mengenai agama apapun, tidak akan terlepas dari pemahaman konsep Tuhan.
Tuhan dalam Islam adalah Haq dan final. Tuhan dalam Islam, telah disepakati penyebutannya oleh umat Islam dengan sebutan Allah. Kesepakatan tersebut berdasarkan atas wahyu Al-Qur’an yang dijelaskan dalam banyak ayatnya. Tidak ada agama lain, kecuali Islam yang tegas dan jelas serta sepakat menggunakan lafadz Allah untuk menyebut nama Tuhannya.
Lafadz Allah merupakan nama Tuhan yang paling agung yang menunjukkan kepada kemuliaan dan keagungan Tuhan. Selain bermakna kemuliaan dan keagungan, kata tersebut juga mensyaratkan bahwa lafadz Allah mewajibkan seluruh bentuk kemuliaan dan menegasikan segala bentuk kekurangan. Dalam konsepsi Fakhruddin Al-Razi Allah merupakan Tuhan yang mutlak, Maha Sempurna dan berbeda sama sekali dengan ciptaan-Nya. Tulisan ini akan menjelaskan konsep Allah menurut Fahruddin ar-Razi. Ruang lingkup pembahasan ini meliputi, nama dan sifat Allah.
Tentang Nama Allah
Untuk memahami konsep Allah menurut Fahruddin ar-Razi, metode yang paling membantu adalah dengan menyimak tafsirannya ketika berinteraksi dengan kata ini. Basis dari segala pandangan teologisnya, berporos dari caranya menafsirkan dan menginterpretasikan lafadz Allah.
Secara etimologi, Allah adalah nama Arab. Asal dari lafadh Allah menurut imam ar-Razi adalah al-Ilah. Lafadz tersebut terdiri dari enam huruf, namun kata ilah tersebut ketika diganti dengan perkataan Allah tinggal empat huruf dalam tulisan, yaitu hamzah  (أ), dua lam (لل), ha’(ه),. Allah swt. (Allah merupakan kata agung (lafadz al-jalalah) merupakan nama diri (ism al-dzat) Tuhan, nama esensi dan totalitas-Nya. Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, imam Ar-Razy juga  menyebutkan bahwa Allah adalah al-ismu al-A’dzam.
Menurut imam Ar-Razi, lafadz Allah tersebut tersusun dari empat huruf. Jika huruf  pertama alif dihilangkan, tiga huruf  lainnya menjadi simbol alam semesta, wujud, yang mencakup alam nyata (dunya) dan langit gaib di atas cakrawala bintang gemilang; alam kubur (barzakh) dan surga; akhirat (akhirah) . Huruf pertama, “alif”, merupakan sumber segala sesuatu, dan huruf terakhir, “hu” (Dia), adalah sifat Allah yang paling sempurna, Yang Maha Suci dari semua sekutu.
Sedangkan secara terminologi, Menurut Imam Ar-Razi, Allah adalah dzat yang paling mulia secara mutlak. Allah merupakan nama Tuhan yang paling agung yang menunjukkan kepada kemuliaan dan keagungan Tuhan. Allah merupakan Tuhan alam semesta, Tidak ada sekutu baginya, Tidak ada bandingannya, dan tidak ada yang menyerupainya. Senada dengan imam Ar-Razi, dalam konsepsi Ibnu Katsir, Allah adalah nama diri  al-ismu al-a’dhamu’. Allah juga merupakan nama yang khusus dan tidak ada sesuatu pun yang memiliki nama itu selain Allah Rabb al- “Alamin (Tuhan seluruh alam semesta).
Dari pengertian tentang lafadz Allah tersebut dapat ditegaskan bahwa Allah betul-betul nama diri (proper name) dan Tuhan seluruh alam semesta. Ibnu Katsir dalam kitab Tafsirnya juga telah menjelaskan bahwa Allah adalah al-Ismu al-Jamid (kata benda yang tidak berasal usul dari kata lain). Terkait dengan hal ini, Imam syafi’i, Imam Haramain, dan Imam al-Ghazali juga berpendapat bahwa lafadz Allah adalah isim (kata benda) yang tidak memiliki akar kata, artinya, bukan isim musytaq yang memiliki akar kata.
Karena lafadz Allah merupakan nama diri (proper name) maka, umat Islam dimanapun berada, tidak akan pernah mendapti problem nama Tuhan. Hal ini dikarenakan nama Allah telah ditetapkan berdasarkan sumber yang utama, wahyu al-Qur’an, lafdhan wa ma’nan dari Allah , Shalih fi kulli zaman wa makan, dan tidak ada keraguan di dalamnya, Dan bukan berdasarkan tradisi ataupun budaya, ataupun konsensus (konsili). Karena itu, umat Islam tidak mengalami perselisihan tentang nama Tuhan. Dan soal nama Tuhan tersebut sudah final sejak awal
Allah sebagai nama Tuhan dalam Islam, memiliki nama-nama yang indah  yang tertulis dalam al-Qur’an. Sebagaimana firman-Nya “walillahi al asma’ul husna fad’uhu biha” (Hanya milik Allah al-Asma’ al-Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutkan al-Asma’ al-Husna). Disini dijelaskan bahwa nama-nama Allah itu banyak tapi yang diberi nama hanya satu. Dia adalah Allah swt. Dalam ayat tersebut juga di jelaskan bahwa ada perintah untuk memanggil (berdo’a) dengan menyebut nama Allah. Maka dalam hal ini nama menjadi alat untuk memanggil, dan yang dipanggil adalah Allah.
Terdapat ayat dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa konsep Allah adalah nama diri (proper name) dapat kita  kaji dari surat At-Thahaa ayat 14:
Artinya: Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang haq) selain Aku.
Menurut penafsiran Ar-Razi, lafadh laa ilaaha anaa, merupakan kalimat yang menunjukkan kepada istbat (ketetapan) Allah. Dan tidak pantas menyandangnya kecuali diri-Nya.Ungkapan “tiada tuhan selain-Ku” mengisyaratkan pengetahuan pokok.
                         Makna “Laa Ilaaha Illallaah”
Konsep Allah dalam pandangan ar-Razi telah dirumuskan dalam al-Qur’an yang tergambar dalam syahadat Laa ilaaha illallaah. Dalam menjelaskan makna syahadat tersebut, Fahruddin ar-Razi membahas secara khusus dalam kitab Ajaib al-Qur’an. Menurutnya, Laa ilaaha illallah disebut sebagai kalimat tauhid, karena menunjukkan peniadaan sekutu Allah secara mutlak. Dikatakan secara mutlak karena ketika Allah berfirman, “Tuhanmu adalah tuhan yang satu,” bisa saja terlintas dalam pikiran seseorang bahwa Tuhan kami adalah satu, sementara Tuhan orang lain, berbeda dengan Tuhan kami. Dugaan semacam ini menurutnya lenyap lewat penjelasan tauhid secara mutlak. Allah berfirman, “tiada Tuhan selain dia.”
Dalam menjelaskan Ayat “Tiada Tuhan selain Dia” tersebut , imam Ar-Razi menggambarkan, ketika kita berkata, “Tidak ada orang dirumah,” berarti kita menidakan esensinya. Ketika esensinya tidak ada, maka semua bagainnya juga tidak ada. Seandainya salah satu bagiannya ada, berarti esensinya ada. Sebab setiap bagiannya mencakup esensi tersebut. Jika esensinya ada, itu bertentangan dengan peniadaan esensi. Jadi ungkapan, “tidak ada orang di rumah,” berarti peniadaan secara total. Kalau sesudah itu disebutkan kecuali Zayd, berarti pengesaan secara total. Berarti Tiada Tuhan selain Allah memberikan makna pengesaan secara total.
1.       Posisi Kata “Allah”
Selanjutnya, dalam menjelaskan kalimat tauhid tersebut, imam Ar-Razi menjelaskan kedudukan lafadz “Allah”. Lafadz tersebut dalam kajian ilmu nahwu berkedudukan ‘marfu’. Sebab, ia badal (pengganti) dari posisi kata “Laa” dan nominanya. Sebagai penjelasannya, jika ada ungkapan, “Ma ja’ani rajul illa Zayd (Tidak ada seorangpun mendatangiku kecuali Zayd)”, disini kata Zayd berbentuk marfu’ karena badal tadi. Dalam konteks ini bagian pertama diabaikan, sedang yang dilihat adalah bagian keduanya. Dengan demikian asumsi dari kalimat diatas, “Ja’ani Zayd (Zayd mendatangiku).” Ini sangat logis karena kalimat  diatas menafikan kedatangan siapapun, kecuali kedatangan Zayd. Adapun ungkapan, Ja’ani al-qawm illa Zayd (Semua orang datang kecuali zayd)”, disini badal tidak bisa diberlakukan. Sebab asumsinya, Ja’ani illa Zayd (datang kepadaku kecuali Zayd).” Artinya semau orang datang kepadanya kecuali Zayd. Ini mustahil.
2.      Masud “Illa”
Berkaitan dengan makna kata “illa” pada kalimat Laa ilaaha illallaah., kata   “illa” menurutnya bermakna ghayr (selain) dan bukan bermakna kecuali. Sehingga asumsinya menjadi laa ilaaha ghayr Allah. Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Seandainya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan lain selain Allah, pasti akan rusak.” Kata illa disini diasumsikan bermakna ghayr (selain). Alasannya, kalau kata illa diartikan sebagai pengecualian, maka kalimat laa ilaaha illallah menurutnya tidak murni sebagai kalimat tauhid. Sebab, asumsi kalimat tersebut menjadi: laa ilaaha yustatsna ‘anhum Allah ( tiada tuhan terkecuali dari mereka (tuhan-tuhan itu) Allah). Artinya semua tuhan dinafikan, sementara Allah sebagai pengecualian. Jadi kalau kata illa diartikan sebagai pengecualian, maka ungkapan laa ilaaha illallah bukan tauhid yang murni. Hal ini karena para ulama sepakat bahwa kalimat tersebut berisi tauhid murni. Dengan demikian, menurut imam Ar-Razi, kata illa harus diartikan dengan ghayr agar makna kalimatnya menjadi laa ilaaha ghayr Allah (tiada tuhan selain Allah).
Selain merupakan kalimat tauhid, lafadzLaa ilaaha illallah” juga berfungsi sebagai nafyu (penegasian) dan itsbat (afirmasi). Dalam hal ini penegasian lebih didahulukan daripada penetapan wujud Allah. Alasannya, menurut imam ar-Razi, pertama, meniadakan sifat Tuhan dari selain-Nya dan kemudian diikuti dengan menetapkan sifat tersebut untuk-Nya lebih kuat daripada langsung menetapkan tanpa  meniadakan selain-Nya. Kedua, “tiada tuhan selain Allah” berfungsi mengeluarkan segala sesuatu selain Allah dari kalbu. Sehingga tatkala kalbu telah kosong dari yang selain Allah, lalu terlintas di dalamnya kekuasan Allah, cahayanya akan bersinar terang dan kekuasaan-Nya akan tampak secara sempurna, Ketiga, penegasian yang diperoleh melalui kala “la” (tiada) berkedudukan seperti thaharah (bersuci). Sementara penetapan wujud dengan kata kata “illa” (selain) berkedudukan seperti thaharah dalam shalat. Jadi “laa ilaaha” harus lebih didahulukan dari pada “illa Allah”.
Dengan demikian, lafadz laa ilaaha illallah tersebut merupakan perkara pokok (ushul). Dengan memahami hakekat kalimat tauhid tersebut, berarti sebagai umat Islam telah mengesakan Allah secara total. Karena sumber pokoknya adalah keutamaan sejati (yaitu ketauhidan), maka tak aneh jika kemudian lafaz laa illaaha illallah juga menempati posisi istimewa. Ketika kita telah mendeklarasikan keyakinan kita hanya pada Allah semata, maka harus menafikan ilah ilah yang lain sembari meneguhkan keyakinan bahwa hanya ada satu ilah, yaitu Allah swt. 
            Pandangan ar-Razi Tentang Mu’tazillah dan Karramiyyah
Dalam masalah ketuhanan, Mu’tazilah menganut prinsip bahwa Allah adalah Esa, sebagaimana kelompok salaf  memahaminya. Namun dalam hal sifat Tuhan, kelompok Mu’tazilah, terutama yang dimotori oleh Wasil Bin Atha’  memiliki doktrin bahwa, mereka menolak adanya sifat-sifat Allah seperti al-Ilmu, Qudrah, Iradah, Hayat. Bagi wasil, mustahil ada dua Tuhan yang qadim dan yang azali. Katanya, siapa yang mengakui adanya sifat qadim pada dzat Allah maka ia mengakuinya adanya dua Tuhan.  Sehingga makna peng-esaan dan pensucian bagi aliran Mu’tazilah ialah meniadakan semua sifat-sifat Allah.
Penolakan terhadap sifat-sifat Allah inilah yang membedakan Mu’tazilah dengan kebanyakan ulama salaf terutama kalangan Asy’ariyah, seperti halnya imam ar-Razi yang meneguhkan bahwa Allah memiliki sifat Maha Kuasa (al-Qudrah), Maha Mengetahui (al-Hayah), Maha Berfirman (al-Kalam), Maha Mendengar (al-Sam’u), dan Maha Melihat (al-Basar).
Tuhan, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qur’an yang terletak dalam surah al-Ikhlas adalah Maha Esa, Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada yang menyerupai dengan-Nya. Terkait dengan hal ini, Fahrudin ar-Razi mejelaskan dalam kitabnya Asas at-Taqdis, bahwa makna Allahu Ahad, berarti bahwa Allah itu tidak membutuhkan kepada selain-Nya. Kemudian setiap yang murokkab (tersusun) membutuhkan kepada setiap yang satu dari bagian-baginnya. Berarti setiap yang murokkab membutuhkan kepada yang lainnya. Lafadz “Allahu Ahad” juga menunjukkan peniadaan jismiyah, tempat dan arah. 
Selain imam Ar-Razi, Ibnu Taymiyah, juga menafsirkan makna yang terkadung dalam surat al-Ikhlas, menurutnya, Tuhan adalah Esa, artinya bahwa Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan. Argumen selanjutnya, jika sesuatu yang secara sendirian melahirkan, maka seharusnya ada sesuatu yang keluar darinya. Apabila ada sesuatu yang bersandar pada yang lain, maka sudah tentu membutuhkan tempat. Keadaan yang semacam ini ditolak dengan firman-Nya “Allahu Ahad”. Hal ini karena Yang Maha Esa itu ialah yang tiada sesuatu pun yang setara dengan-Nya dan tidak ada bandingan-Nya.  Dan Dia berbeda dengan ciptaan-Nya (mukhalafatu lil hawadits)
.
Sebagai Tuhan yang Esa, kewujudan-Nya mesti berbeda dengan kewujudan yang lain dan semua bentuk persamaan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya. Prinsip akidah yang dikenali sebagai tanzih ini merupakan asas penting dalam faham ketuhanan dalam Islam yang membedakannya dari teologi agama-agama yang berasaskan politeisme. Ia berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an yang jelas menyatakan tentang keunikan sifat dan hakikat Tuhan dari yang lain seperti ayat “Tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya (laysaka mithlihi shay’),” “Tidak ada pada-Nya sesuatu yang setara dengan-Nya (wa lam yakun lahu kufuwan ahad).”
Dalam mentafsirkan ayat-ayat tersebut, al-Razi menjelaskan bahwa prinsip tanzih ini tidak boleh ditolak karena ayat-ayat yang mendukungnya  merupakan ayat-ayat mempunyai makna yang sudah jelas dan muhkamat (tetap) dalam menggambarkan perbedaan Tuhan dengan makhluk. Oleh karena itu ayat-ayat tersebut maknanya tetap dan tidak bisa dipermasalahkan dengan berbagai bentuk pentakwilan. Disinilah pentingnya imam ar-Razi meletakkan aspek tanzih sebagai salah satu dari sifat-sifat wajib Tuhan, yang termanifentasi dari ungkapan mukhalafatu li al-hawaditsi (berbeda dengan yang diciptakan).  
Dalam memperkuat lagi aspek tanzih, al-Razi memberikan penjelasan berdasarkan hujah falsafah dan logika:
Pertama, Tuhan merupakan satu-satunya kewujudan yang tidak mempunyai bentuk persamaan (matsil) atau penyerupaan (sabhih).  Tidak ada genus, seperti yang diuraikan dalam ilmu mantiq, yang dikenakan kepada Tuhan karena Tuhan tidak boleh dikelompokkan dalam macam-macam jins (genus) yang dibawahnya terkandung naw’ (species) sebagaimana sifat-sifat makhluk yang lain. Bila pun ada persamaan antara Tuhan dan makhluk, sebagaimana yang terdapat dalam istilah sifat ilmu, hayat, sama, dan bashar, ini hanyalah persamaan dari segi bahasa (al-isthirak al-lafdzi).
Kedua, penekanan ayat-ayat diatas membuktikan bahwa setiap sifat Tuhan adalah berbeda secara dzatiah (esensi) dengan sifat makhluk. Ini bermakna perbedaan antara Tuhan dengan makhluk adalah perbedaan mutlak dalam arti bahwa tiada satupun aspek yang boleh disamakan antara kedua-duanya.
Ketiga, betitik tolak dari prinsip ini juga, Tuhan juga tidak boleh disamakan dengan benda-benda yang bersifat jisim karena itu akan mengandaikan bahwa Tuhan boleh dibagi (murakkab) sebagaimana setiap jisim terbagi-bagi. Setiap benda yang terbagi, maka setiap bagiannya memerlukan satu dengan yang lain.
Keempat, Tuhan juga tidak boleh dikatakan menempati ruang, karena bila menempati ruang sama saja mengatakan bahwa Allah itu bertempat  sedangkan bertempat juga merupakan salah satu ciri benda yang berjisim. Tempat juga merupakan sesuatu yang mempunyai ukuran tertentu, begitu juga dengan jisim. Sementara jisim merupakan sesuatu yang mempunyai ukuran  tertentu, batasan-batasan tertentu dan sebagainya yang mengambil ruang dan tempat. Terhadap hal yang demikian, Maha Suci Allah swt. Dari yang bertempat dan berjisim. Karena wujud Allah itu tidak berjisim, bertempat dan mempunyai Arah.
Penjelasan  al-Razi mengenai penegasian aspek tajsim merupakan respon terhadap pandangan golongan Mushabbihah dan Mujassimah terutama golongan Karamiyah. Golongan ini bisa dikatakan terpengaruh dengan pemikiran agama lain seperti Yahudi dan Nasrani dan juga paham animisme yang dibawa dari budaya dan keagamaan lama mereka. Beberapa tokoh Syi’ah seperti Hisham bin Hakam berpandangan bahwa Tuhan mempunyai ukuran dan panjang, bahwa panjang tuhan adalah tujuh depa tangan manusia sementara Abu al-Hudhayl mengatakan bahwa Tuhan tidak lebih besar dari Jabal Qubays di Mekah. Adapun golongan Karramiyyah berpandangan bahwa Tuhan boleh ditunjuk dengan arah, Tuhan ada di atas dan juga dibawah.
Secara khusus, hujah-hujah al-Razi adalah dilatarbelakangi sanggahan beliau terhadap golongan Karamiyyah yang mengatakan bahwa Tuhan adalah jauhar (substansi materi) dan Tuhan mempunyai arah. Hujah mereka ini adalah berdasarkan prinsip logika bahwa setiap benda yang berwujud, ianya ada berada di dalam jauhar yang lain (yang merujuk kepada sifat ‘aradh (sifat materi) yang berada di dalam jauhar, seperti warna, bentuk dll), atau ia terpisah dengan jauhar yang lain dari segi arah (sebagaimana sifat jauhar yang terpisah dengan jauhar yang lain). Berdasarkan prinsip jauhar dan ‘arad’ ini, golongan Karamiyyah membandingkannya dengan Tuhan dan alam.
Disebabkan Tuhan dan alam adalah dua perkara yang wujud, maka Tuhan juga berarti berada di dalam alam (sebagaimana ‘arad’ berada di dalam jauhar) atau Tuhan berada terpisah dengan alam pada satu arah (sebagaimana jauhar). Disebabkan Tuhan tidak berada di dalam alam karena ini akan memberikan implikasi penyatuan Tuhan dengan alam (hulul), maka Tuhan adalah terpisah dengan alam dalam satu arah. Pada hakikatnya, hujah golongan Karamiyyah ini adalah bertujuan untuk menjustifikasi ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Tuhan berada di arah atas.
Pendapat kelompok Karramiyah diatas terbantahkan dengan pendapat  imam ar-Razi dalam tafsir mafatih al-Ghaib, yang menyatakan bahwa:   
Sesungguhnya Allah tidak mempunyai Jisim atau Jauhar, karena bentuk  tersebut bersifat pasif yang menjadikan-Nya seperti ciptaan-Nya. Dengan menggambarkan bahwa Allah itu mempunyai bentuk, maka hal tersebut bertentangan dengan kaidah yang menyatakan bahwa Allah itu berdiri sendiri (Qiyamuhu binafsihi).
Selain imam Ar-Razi, terdapat tokoh Asy’ariyah yang juga mempunyai rumusan tentang adanya Tuhan, berdasarkan kenyataan alam ini. Adalah al-Baqillani yang mempunyai rumusan bahwa alam indrawi ini katanya adalah baru (huduts) karena ia terdiri dari tiga unsur: jisim, jauhar (substansi materi) dan ‘aradh’ yang melekat (layanfakku) pada keduanya. Jisim bukanlah sesuatu yang tunggal, karena ia tersusun dari jauhar-jauhar, dan jauhar itu adalah unsur atau  bagian terkecil yang tidak dapat dibagi lagi. Sedangkan ‘aradh’ adalah keadaan atau sifat yang melekat pada jisim dan jauhar. Ia selalu berubah dan menghilang pada saat kedua wujudnya pada jisim dan jauhar untuk diganti dengan yang lain.
 Oleh karena jisim dan jauhar tidak terlepas dari aradh, dan sebaliknya aradh sangat bergantung wujudnya pada jisim dan jauhar, yakni tidak dapat berdiri sendiri, selain itu ia juga baru karena selalu berubah, maka alam semesta ini, yang terdiri dari tiga unsur tersebut, juga keadaannya baru. Jika alam ini baru, maka tentunya harus ada suatu dzat yang tidak baru sebagai sebab bagi perubahan itu. Dzat itu adalah Allah swt. 
Kesimpulan
Dari pemaparan tetang konsep Tuhan menurut Fakhruddin Ar-Razi diatas, dapat disimpulkan, pertama: Tuhan dalam Islam disebut dengan lafadz Allah. Lafadz tersebut merupakan nama diri (proper name) yang mana, seluruh umat Islam tidak mengalami problem pemanggilan karena berdasarkan atas wahyu Al-Qur’an yang otentik dan final. Lafadz Allah dalam pandangan Ar-Razi terumuskan dalam syahadat Laa ilaaha illallaah (tiada Tuhan selain Allah). Syahadat tersebut mempunyai makna peng-esa-an Allah secara total.
Kedua, Allah swt. mempunyai sifat seperti halnya kaum asy’ariyah lainnya. Ia menafikan bahwa Allah berbilang, berjisim, bertempat, berada dalam ruangan,. Ataupun menyerupai dengan ciptaan-Nya. Hal ini karena Allah Maha Esa, Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tiada ada yang menyerupainya. Perbedaan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya merupakan perbedaan mutlak dalam arti bahwa tiada satupun aspek yang boleh disamakan dengan-Nya. Maha suci Allah dari segala penyerupaan dan kekurangan. Wallahu a’lam Bishowab.
sumber asal

Bersama Fakhruddin al-Razi Mendalami Tauhid

 


Bersama Fakhruddin al-Razi Mendalami Tauhid
Judul Buku: Kecerdasan Bertauhid
Penulis: Fakhruddin al-Razi
Penerjemah: Fauzi Faisal Bahreisy
Penerbit:
Zaman, Jakarta
Cetakan: I, 2011 Tebal: 249 halaman

   KabarIndonesia
- Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Ketahuilah bahwa tiada tuhan selain Allah, lalu mohonlah ampunan atas dosamu serta dosa kaum mukmin, baik laki-laki maupun perempuan.”(QS. Muhammad:19). Dengan menggunakan ayat itu, Fakhruddin al-Razi mengawali buku ini untuk mencoba menjelaskan perihal tauhid. Dari ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa perintah untuk mengenal tauhid lebih diutamakan ketimbang perintah untuk memohon ampunan. Sebab, mengenal tauhid mengisyaratkan pengetahuan pokok (ushul), sedangkan memohon ampunan menandakan pengetahuan cabang (furu’). Yang pokok tentu harus didahulukan daripada yang cabang. Fakhruddin al-Razi lebih lanjut menerangkan bahwa selama seseorang tak mengetahui eksistensi Sang Pencipta, maka ia tak bisa melakukan ketaatan dan penghambaan kepada-Nya.

   Dalam ayat lain, Allah SWT juga menerangkan hal serupa. Sebut saja doa Nabi Ibrahim, “Wahai Tuhan, berikan kepadaku hikmah dan masukkan aku ke dalam golongan orang yang saleh.”(QS. Asy-Syu’ara’: 83). Ungkapan “berikan kepadaku hikmah” menunjukkan permintaan Nabi Ibrahim agar kekuatan pemahamannya disempurnakan dengan mengenali hakikat segala sesuatu. Adapun ungkapan “masukkan aku ke dalam golongan orang yang saleh” menunjukkan permintaan Nabi Ibrahim agar kekuatan amaliahnya disempurnakan dengan tak melanggar dan melampaui batas. Jadi, Nabi Ibrahim mendahulukan pengetahuan daripada amal. Ketika memberikan wahyu kepada Nabi Musa, Allah SWT berfirman, “Aku telah memilihmu, maka perhatikan apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tiada tuhan selain-Ku. Karena itu, sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.”(QS. Thaha: 13-14). Ungkapan “tiada tuhan selain-Ku” mengisyaratkan pengetahuan pokok, sementara ungkapan “Karena itu, sembahlah Aku” mengisyaratkan pengetahuan cabang. Begitu juga ketika Nabi Isa diberi kemampuan berbicara oleh Allah SWT pada masa kecilnya, ia berkata, “Aku adalah hamba Allah. Dia telah memberiku Alkitab (Injil).”(QS. Maryam; 30). Pengetahuan pokok “Aku adalah hamba Allah” didahulukan sebelum pengetahuan cabang “Dia telah memberiku Alkitab (Injil)”. Selain itu, ada ayat-ayat lainnya yang menegaskan hal serupa. Tauhid sebagai pengetahuan pokok (ushul) lebih diutamakan daripada pengetahuan cabang (furu’) diberikan argumen oleh Fakhruddin al-Razi. Ada beberapa argumen dipaparkan, salah satunya bahwa kemuliaan sebuah pengetahuan bergantung pada kemuliaan objeknya. Ketika objeknya lebih mulia, maka pengetahuan yang mengarah kepadanya juga lebih mulia. Nah, karena objek yang paling mulia adalah zat dan sifat Sang Pencipta (Allah), maka mengenal dan mengesakan-Nya juga menjadi pengetahuan yang paling mulia. Argumen-argumen lainnya yang dipaparkan Fakhruddin al-Razi bisa dikaji lebih mendalam dalam buku ini (halaman 9-59).

   Menginjak bab kedua buku ini, kita diajak untuk merenungi dan menghayati keutamaan dari kalimat La Ilaha Illallah. Ada sembilan keutamaan yang dijelaskan Fakhruddin al-Razi. Adapun pada bab ketiga, Fakhruddin al-Razi menerangkan tentang rahasia nama-nama kalimat La Ilaha Illallah. Ada 24 rahasia nama-nama kalimat La Ilaha Illallah: (1). Kalimat Tauhid, (2). Kalimat Ikhlas, (3). Kalimat Ihsan, (4). Seruan Kebenaran, (5). Kalimat Keadilan, (6). Ucapan yang Baik, (7). Kalimat Thoyyibah, (8). Ucapan yang Teguh, (9). Kalimat Takwa, (10). Kalimat yang Kekal, (11). Kalimat yang Paling Tinggi, (12). Perumpamaan yang Paling Tinggi, (13). Kalimat yang Tidak Mengandung Perselisihan, (14). Kalimat Keselamatan, (15). Perjanjian, (16). Kalimat Istiqamah, (17). Kunci Langit dan Bumi, (18). Yang Bisa Membendung, (19). Kebajikan, (20). Agama, (21). Jalan, (22). Kalimat Kebenaran, (23). Tali Buhul yang Amat Kuat, dan (24). Kalimat yang Benar (halaman 85-135). Dalam bab keempat buku ini diterangkan mengenai perumpamaan kalimat tauhid. Kalimat tauhid atau iman menurut Fakhruddin al-Razi bisa diperumpamakan seperti api, cahaya, tanah, air, tali, dan pohon zaitun.

   Selain hal di atas, kita bisa menyimak pemaparan lainnya lewat buku ini dari Fakhruddin al-Razi dalam bab kelima “Lebih Dalam Dengan Kalimat Tauhid”, bab keenam “Keistimewaan Orang Beriman”, bab ketujuh “Fikih Kalimat Tauhid”, bab kedelapan “Syahadat Dan Pentingnya Keyakinan”, dan bab kesembilan “Akal Yang Terbatas, Tuhan Yang Tak Terbatas”.

   Apa yang dipaparkan buku ini tentu bisa kita renungkan, kaji, telaah, dan diambil pelajaran. Ikhtiar Fakhruddin al-Razi (544 H-606 H/1149 M-1209 M) menuangkan perenungan dan pemikirannya tentang tauhid layaklah kita apresiasi. Jika pun dijumpai perbedaan pendapat dalam uraian-uraian yang terpapar, Fakhruddin al-Razi tentu telah mencoba mengajak umat ini benar-benar memahami esensi tauhid. Penerbit Zaman, Jakarta, yang telah menerjemahkan kitab klasik ini juga layak diapresiasi sebagai ikhtiar menyelamatkan karya-karya para ulama tempo silam. Selamat membaca, berpikir, dan memetik kekuatan pemahaman.



SUMBER ASAL

Tokoh Falsafah Islam : Al-Razi.

   Al-Razi merupakan seorang tokoh falsafah Islam yang banyak menimbulkan kontroversi dalam bidang ilmu falsafah. Sikap dan pemikirannya dikatakan cenderung kepada pemikiran dan teori ahli falsafah Yunani kuno seperti Plato. Oleh sebab itu, ramai dalam kalangan ahli falsafah muslim yang mengecamnya, mereka tidak setuju dengan sebahagian pendapatnya yang pro-platonisme.

  Walau bagaimanapun, al-Razi tetap diletakkan dalam senarai ahli falsafah muslim yang terkemuka sehingga ke hari ini. Sumbangannya yang besar dalam bidang perubatan dan kimia sangat berharga kepada generasi selepasnya. Manakala dalam bidang falsafah, al-Razi memberi sumbangan besar dalam menghuraikan falsafah logik, metafizik, moral, dan kenabian dengan cara rasional dan harmoni. Oleh sebab itulah al-Razi terkenal sebagai seorang ahli falsafah yang rasional dan murni. Al-Razi atau nama sebenarnya Abu Bakar Muhammad bin Zakaria al-Razi, lahir pada tahun 236H bersamaan 850M. Sesetengah pendapat mengatakan yang beliau lahir pada 1 Sya'ban 251H bersamaan 865M. Beliau anak kelahiran bum! Iran iaitu di Ray dekat Tehran merupakan seorang tokoh falsafah yang masyhur pada kurun ke-3 Hijrah.

  Beliau pada zaman mudanya menjadi pemain gambus (rebab, rebana) sambil menyanyi, kemudian dia meninggalkan pekerjaan itu dan mempelajari bidang perubatan dan falsafah. Beliau belajar ilmu kedoktoran dengan Ali ibn Rabban al-Thabari (192 - 240H bersamaan 808-855M) dan belajar ilmu falsafah dengan al-Balkhi. Dalam masa yang sama beliau juga belajar matematik, astronomi, sastera, dan kimia.Semasa Mansur ibn Ishaq ibn Ahmad ibn Asad menjadi Gabenor Ray, al-Razi diberi kepercayaan memimpin rumah sakit (hospital) selama enam tahun (290-296H bersamaan 902 - 908M). Pada masa ini juga al-Razi menulis buku al-Thibb al-Mansuri yang dipersembahkan kepada Mansur ibn Ishaq ibn Ahmad. Kemudian al-Razi berpindah ke Baghdad atas permintaan Khalifah al-Muktafi (289 - 295H bersamaan 901 - 908M), yang berkuasa pada waktu itu.

  Dalam menjalankan kerjaya kedoktoran, beliau dikenal sebagai seorang yang pemurah, sayang kepada pesakit-pesakitnya, dermawan kepada orang-orang miskin dan memberi rawatan kepada mereka secara percuma. Hitti menyifatkan al-Razi sebagai seorang doktor yang paling agung dalam kalangan doktor Muslim dan juga seorang penulis yang produktif.Kemasyhuran al-Razi sebagai doktor bukan sahaja di dunia timur, tetapi juga di barat; sehinggakan beliau telah digelar The Arabic Galen. Setelah Khalifah al-Muktafi wafat, al-Razi kembali ke Ray, dan meninggal dunia pada 5 Syaaban 313H (Oktober 925M).Para sarjana berpendapat bahawa al-Razi mengalami sakit mata dan kemudiannya buta pada penghujung hayat-nya. Al-Razi menderita akibat ketekunannya menulis dan membaca yang terlalu banyak.

  Dalam dunia keilmuan, tradisi pro dan kontra tidak pernah luput sejak zaman dahulu bahkan sehinggalah ke hari ini. Demikianlah pada zaman al-Razi, beliau tidak terlepas daripada ditentang oleh para ilmuwan sezamannya.Penentang al-Razi yang dapat dikenal pasti oleh para sarjana dan ilmuwan Islam ialah Abu Qasim al-Balkhi. Beliau banyak menulis penolakan terhadap buku-buku al-Razi, terutama buku 'Ilm al'Ilahi. Begitu juga dengan Syuhaid ibn al-Husain al-Balkhi, beliau mempunyai banyak perbezaan dengannya al-Razi terutama tentang teori kesenangan. Teorinya tentang kesenangan itu dijelaskan dalam kitabnya Tafdhil Ladzdzat al-Na^s, yang ditulis kembali oleh Abu Sulaiman al-Mantiqi al-Sajistani dalam Siwan al-Hikmah.

  Al-Razi merupakan antara tokoh yang produktif dalam lapangan penulisan. Hal ini terbukti dengan banyak hasil karya beliau ditemui termasuk yang telah hilang. Tidak kurang daripada 200 buah karangan termasuk buku, makalah, dan surat-surat telah dihasilkan oleh al-Razi dicatatkan para pengkaji. Karya-karya beliau banyak membincangkan persoalan falsafah, perubatan, sains, ketuhanan, al-Quran, ilmu kalam, bahasa Arab, fiqh dan usul fiqh, geometri, dan sejarah.Kemasyhuran al-Razi bukan sahaja menjadi kebanggaan kepada dunia Islam malah ketokohan dan kepakaran beliau turut diakui oleh dunia barat. Hal ini terbukti dengan banyak karya-karya beliau telah menjadi rujukan dan panduan dunia barat terutamanya dalam bidang perubatan. Sehingga kini karya-karya al-Razi masih diguna.

  Kitab al-Hawi (Liber Contines) merupakan sebuah ensiklopedia amalan perubatan terapeutik yang dihasilkan olehnya menjadi rujukan dunia Eropah. Minat yang mendalam dunia Eropah kepada karya agung yang seberat 10kg ini terbukti dengan penerbitannya beberapa kali sejak abad ke-12M lagi sehingga abad ke-17M.Penemuan al-Razi berkenaan sakit campak cacar tulen (smallpox) dan campak biasa (measal) turut menjadi bahan rujukan perubatan di dunia Barat malah turut diulangi penerbitannya beberapa kali sehingga abad ke-18M. Kedua-dua karya ini juga merupakan sumber kurikulum tradisional di kalangan para pengamal perubatan Islam.

  Kitab al-Mansur (Liber medicinalis ad al Mansorem) juga karya agung al-Razi dalam dunia perubatan. Al-Razi telah menghasilkan buku ini ketika beliau di Khurasan di bawah pemerintahan Gabenor al-Mansur Ibnu Ishaq. Dalam buku ini terkandung 10 penemuan berkaitan tentang amalan sent dan sains perubatan. Buku ini dianggap satu karya beliau yang tulen dan mencerminkan kematangan dan kepakaran beliau dalam amalan perubatan moden. Dalam buku ini juga beliau menekankan betapa pentingnya cara pemeriksaan yang teliti sebelum membuat sesuatu kesimpulan tentang sesuatu penyakit. Satu falsafah yang terpenting dalam karya al-Razi ini ialah kebenaran dalam ilmu perubatan merupakan suatu yang amat sukar diperoleh dan walaupun banyak tersedia rujukan namun kurang juga nilainya sekiranya dibandingkan dengan amalan seorang doktor yang sentiasa menggunakan kuasa pemikiran dan logiknya.Al-Razi menentang sekeras-kerasnya amalan penipuan dan penyelewengan dalam amalan perubatan. Padanya penyakit jasmani tidak boleh dipisahkan dengan penyakit rohani. Oleh sebab itu, dalam merawatnya kedua-dua pendekatan iaitu rohani dan jasmani terus digemblengkan.

  Al-Razi turut memberi sumbangan yang besar dalam bidang kimia dengan terhasilnya Kitab al-Asrar (The Book of Secrets). Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan merupakan sumber utama maklumat bahan kimia sehingga abad ke-14M. Antara lain kejayaan al-Razi dalam dunia perubatan ialah penemuan rawatan kepada penyakit cacar dan pengasingan alkohol dalam penghasilan antiseptik.

  Sumbangan al-Razi dalam bidang falsafah tidak kurang hebatnya, dengan terhasilnya banyak karya tentang falsafah sudah cukup untuk membuktikan minat yang mendalam al-Razi dalam bidang falsafah. Karya beliau dalam bidang falsafah yang berjudul Al'Thib al-Ruhani merupakan karya teragung beliau dalam bidang falsafah. Karya ini berkisar tentang cara pengubatan penyakit jiwa dan pengubatan fizik yang menyembuhkan tubuh badan. Antara karya utama yang membincangkan persoalan falsafah ialah al-Sirah al'Falsafiyyah, Amarah al-lqbal aI'Dawlah, Kitab al-Ladzdzah, Kitab al-llmi al-Ilahi, Maqalah fi ma baid al'Thabiiyah, dan al-Syukuk 'ala Proclus.

  Alt Sami al-Nasysyar telah mengesan sebanyak 97 buah buku yang telah dihasilkan oleh al-Razi yang merangkumi bidang-bidang al-Quran (tafsir) lima buah, Ilmu kalam 40 buah, Falsafah 26 buah, Bahasa Arab tujuh buah, Fiqh dan Usul Fiqh lima buah, Perubatan tujuh buah, Geometri lima buah, dan Sejarah dua buah. Brockelman seorang pengkaji biografi orientalis pula membahagikan penulisan tokoh ini kepada 13 bidang dengan hanya menemui 38 buah karya sahaja, antaranya History dua buah, Fiqh tiga buah, Quran tiga buah, Dogmatics 13 buah, Philosophy lapan buah, Astrology satu buah, Cheiromancy satu buah, Rhetoric satu buah, Encyclopedia satu buah, Medicine satu buah, Physionomy dua buah, Alchemy satu buah, dan Mineralogy satu buah.



SUMBER ASAL:

http://razialong.blogspot.com/2010/03/tokoh-falsafah-islam-fakhruddin-al-razi.html 

Ahad, 16 September 2012

Fakhruldin al-Razi Bapa Kedoktoran

FAKHRULDDIN AL-RAZI–BAPA KEDOKTORAN

- Al Razi dan Kedoktoran
    Semenjak mula lagi beliau telah dipandang tinggi dan dihormati dengan kepentingan beliau mengeluarkan idea-idea baru yang tidak terputus dari pemikiranya yang luas dan sifatnya yang berani berterus-terang di dalam kebenaran.
Beliau dianggap sebagai doktor Islam yang paling terkemuka, bapa kedoktoran Arab, Galionus Arab, maha guru di bidang kedoktoran dan doktor genius di bidang klinik. Kerana itulah terdapat ungkapan yang menyatakan bahawa kedoktoran ini mati dan dihidupkan oleh Galinous, ianya bercerai-berai sehinggalah dikumpulkan oleh Al Razi dan ianya berada dalam kekurangan sehinggalah disempurnakan oleh Ibn Sina. Seseungguhnya sehingga kurun ke 17 beliau masih dianggap sebagai “Hujjah al Tib” di Eropah. Beliau disifatkan oleh ulamak-ulamak dan doktor-doktor Eropah sebagai cendikiawan yang berpegang kepada penelitian yang mendalam dan ujikaji yang menyeluruh sehingga membolehkan sehingga sekarang ini setiap eksperimennya dianalisa dan diuji mengikut cara moden.
Diriwayatkan ketika mana Khalifah Harun Al Rashid ingin membina Hospital Al Mansuri di Baghdad, maka telah dicalunkan seramai 50 orang temasuk Al Razi sebagai dokornya. Ketika ujian dijalankan untuk memilih 10 orang sahaja Al Razi telah berjaya terpilih sebagai salah seorang darinya. Ketika dipiih 3 orang beliau juga merupakan salah seorang darinya sehinggalah beliau merupakan calun tunggal yang berjaya dipilih. Diriwayatkan juga sebelum hospital tersebut dibina, beliau mengantungkan potongan daging dimerata tempat di bandar dan ditinggalkan beberapa hari. Akhirnya beliau telah memilih tempat daging yang paling kurang kesan busuknya untuk membina hospital Al Mansur.
Al Razi tidak kekal lama di Baghdad. Beliau akhirnya kembali semula ke Rai untuk mengetuai hospitalnya sendiri. Beliau telah melantik Al Mansur bin Ishak untuk menggantikanya di Baghdad.
Majlis Al Razi
Disifatkan bahawa beliau seorang yang bertubuh dan berkepala besar. Ketika berada di majlisnya beliau akan di kelilingi oleh pelajar-pelajarnya, anak murid kepada pelajarnya dan murid kepada anak murid pelajarnya.
Pergaulan Al Razi dengan pelajar dan pesakitnya
Beliau merupakan contoh di dalam pergaulan.Tidak pernah membezakan antara fakir dan kaya dan sentiasa menyumbangkan makanan-makanan terhadap yang memerlukannya.
     Sumbangan dan karya Al Razi di bidang Kedoktoran.
Beliau sentiasa mengikuti perkembangan pemikiran semasa lebih-lebih lagi di dalam bidang klinik kedoktoran. Beliau telah menjelaskan jenis tiap penyakit, puncanya, sifat-sifat, cara merawatnya dan mendatangkan beberapa andaian. Beliau telah menentukan penyakit demam panas dan taun. Beliau merupakan orang pertama membezakan penyakit colitis dan memulas perut dan antara cacar dan campak. Beliau telah menulis sebuah risalah yang terbahagi kepada 14 bahagian dan dianggap sebagai tinggalan terbaik di dalam ilmu kedoktoran Islam. Di dalam risalahnya itu beliau telah menjelaskan mengenai campak dan cacar dan menerangkan hubungan bintik-bintik merah dengan peningkatan suhu panas. Beliau meambah lagi bertapa perlunya pemeriksa dilakukan ke atas hati, denyutan jantung, proses pernafasan dan lain-lain.
Al Razi merupakan orang pertama menggunakan sebatian plumbum di dalam memproses krim dan menggunakn usus binatang ketika menjahit luka-luka. Beliau telah menguji ubat yang telah siap diproses kepada binatang sebelum digunakan oleh pesakit. Beliau juga telah mensifatkan penggunaan simim plaster di dalam merawat penyakit patah.
Karya-karya Al Razi yang penting
Ensklopedia kedoktoran “Al Hawi” yang ditulis di dalam 10 jilid dan mempunyai 24 rencana. Ianya dianggap sebagai rujukan terpenting di kurun pertengahan, buku ini telah sempurna diterjemahkan ke bahasa Latin selepas kematian beliau oleh seorang Yahudi, Faraj b. Salim atas arahan Charles of Ango, raja Secili pada tahun 678 H/ 1279 M. Buku terjemahan ini telah diterbitkan atas nama Ad Mansorum.
“Al Fusul”, yang merupakan buku pandangan beliau secara individu. Ianya dipenuhi dengan kajian-kajian yang bermutu, nasihat yang bernilai dan teristimewa kerana ketelitian disudut analisanya.
“Al Majriyyat”, merupakan buku karanganya di sudut kedoktoran di awal kehidupanya di Baghhdan.
“Manafiu al Aghziyyah”, buku yang telah ditulis di dalam 19 bab yang membahaskan kemudaratan dan kemanfaatan roti, air, minumam (mabuk dan tidak mabuk), daging, ikan, susu, buah-buahan. Rempah ratus dan manisan.
“Al Tib Al Mansur”, yang telah ditulis di dalam 10 jilid. Di dalamnya beliau telah mensifatkan pembahagian manusia disudut pisiologi, penyakit di dalam dan kesihatan. Buku ini juga telah dihadiahkan kepada Al Mansur bin Ishak. Buku ini telah diterjemahkanke bahasa Latin dengan nama Continens dan dicetak beberapa kali.
Al Razi dan Kimia
Diriwayatkan beliau telah berjaya menguasai ilmu kimia dan membolehkan menukarkan sisa-sisa galian kepada emas, Ibn Khalkan menceritakan bagaimana AL Razi telah menulis buku besar menceritakan rahsia-rahisa ciptaan ilmu kimia dan dihadiahkan kepada Khalifah Al Mansur. Khalifah telah menghadiahkan kepadanya 1000 dinar sambil menyumbangkan alat-alat dan kelengkapan agar melaksanakan apa yang telah beliau tulis. Apabila usaha-usaha beliau tidak berjaya untuk menukar galian menjadi emas, khalifah telah memerintah agar beliau telah dipukul dengan kitabnya sehingga menyebabkan kitabnya itu hancur. Perubatan ini menyebabkan mata Al Razi menjadi buta dan waktu tersebut telah dihabiskan dengan membuat pembetulan didalam karya-karyanya.
Al Razi telah menghasilkan karya-karya di dalam ilmu kimia seperti “Khowasu al Asyak” dan “Sirru al Asrar”, antara sumbangan beliau yang lain ialah menghasilkan alkohol, asid dan cuba menentukan timbangan beberapa jenis jirim.
Al Razi dan Falsafah
Mengikut pendapat, beliau telah berguru dengan Al Balkhi dan falsafahnya pula diambil dari pendapat Alplaton dan Aclidus. Beliau banyak terpengaruh dengan Socrate dan Galinous tetapi akhirnya beliau telah merasa syak dan menghasilkan buku “Al Syukuk’ ala Galinous”. Al Razi juga menulis buku “Al Mabahis Al Syarqiah fi llmi al llahiyyat wa al Tobi’ iyyat” yang mana membahaskan pendapat-pendapat disudut kedoktoran dan falsafah yang wujud di zamannya.
Beliau telah menghasilkan 224 karya berbentuk buku dan risalah. Ulama-ulamak telah melebihkan Al Razi di bidang kedoktoran dari Ibn Sina tetapi melebihkan pula Ibn Sina di bidang falsafah.


Sumber asal
http://najahudin.8m.com/tokoh.html

Kenali Kitab Mafateh al-Ghaib

Kenali kitab tafsir: Tafsir Mafatih al-Ghaib


Kitab Tafsir yang berjudul Mafatih al-Ghaib ini dikenali juga sebagai Tafsir al-Kabir hasil karya Imam Fakhr al-Din, Muhammad bin ‘Umar al-Razi (wafat 606 Hijrah) dikenali juga sebagai Fakhr al-Razi. Razi ini adalah nasab pada tempat yang disebut Rayy dalam wilayah Dailam di utara Iran. Beliau merupakan antara ahli tafsir yang terkenal dengan pelbagai ilmu berkaitan tafsiran al-Quran, juga faqih bagi mazhab al-Syafii.
Secara ringkasnya kitab ini mempunyai sedikit perselisihan berkaitan dengan penjenamaannya atau judul yang diberikan oleh beliau. Ini kerana ada sebahagian ulama menamakannya sebagai Mafatih al-Ghaib dan ada pula yang menamakan sebagai Tafsir al-Kabir.
Ramai yang membicarakan mengenai kitab ini, adakah ia dinamakan dengan kedua-dua nama ini atau salah satu dari keduanya dan apakah nama yang paling tepat bagi kitab tafsir ini?
Apabila dicari di dalam kitab tersebut, tidak ditemui sebarang petunjuk yang menyatakan dinamakan sebagaimana yang tersebut. Bahkan tidak disebut juga di dalam mukadimahnya dengan nama yang tertentu sebagaimana buku lain.
Apabila dikaji dalam beberapa buah kitab biografi ulama lain terdapat beberapa penyataan berkaitan kitab ini, antaranya:
a. Berkata al-Dawudi dalam kitab Thabaqat al-Mufassirin: Tafsir al-Kabir ini ditulis sebanyak 12 jilid dengan dinamakan Fath al-Ghaib atau Mafatih al-Ghaib.
b. Berkata pula Haji Khalifah di dalam Kasyf al-Zhunun: Kitab Mafatih al-Ghaib yang dikenali juga sebagai Tafsir al-Kabir dihasilkan oleh Fakhr al-Din, Muhammad bin ‘Umar al-Razi – wafat 606H.
c. Berkata pula al-Qanwaji @ al-Qanuji (Siddiq Hassan Khan) di dalam kitabnya Abjad al-‘Ulum: al-Fahkr al-Razi merupakan seorang ulama yang banyak mengulas dari kalangan ulama tafsir yang lain di dalam ilmu tafsir al-Quran. Namun, sebahagian ahli ilmu yang membuat semakan memberikan komentar mereka mengenai kitabnya Mafatih al-Ghaib bahawa, di dalamnya terdapat segala maklumat kecuali bab tafsir dan di dalam tafsirnya itu dikaji setiap perkara sama ada kecil atau besar hingga tidak terhitung banyaknya.
d. Berkata al-Suyuthi dalam kitab Thabaqat al-Mufassirin: Beliau mempunyai hasil karya berjudul Tafsir al-Kabir dan al-Mahsul dalam topik Usul al-Fiqh.
Apa yang jelasnya bila dibincangkan tentang judul ini, boleh diguna pakai kedua judul tersebut.
Sering menjadi persoalan para ulama adakah beliau berjaya menyiapkan kitab ini?
Di dalam kitab Uyun al-Anba` karya Ibn Abi al-Usoibi’ah (jld 2, hlm. 29) berkenaan biografi Fakhr al-Razi yang menerangkan kitab karangannya ini beliau berkomentar seperti berikut:
Kitab Tafsir al-Kabir yang dinamakannya juga sebagai Mafatih al-Ghaib setebal 12 jilid dengan tulisan yang terperinci kecuali al-Fatihah. Beliau merupakan seorang yang ulung dengan mentafsirkan surah al-Fatihah dalam satu jilid. Turut mentafsirkan surah al-Baqarah menerusi aspek logika (linguistik dan sastera) dan tidak banyak dari nas beberapa jilid. Nyata bahawa tafsir beliau merupakan tafsiran yang sempurna…
Kataku: Apabila saya sendiri (mohdfikri.com) membaca ulasan tersebut yang menyatakan kitab tafsirnya satu jilid khusus adalah untuk surah al-Fatihah. Saya terus merujuk kitab tersebut versi PDF yang baru saya miliki. Memang benar! Kitab Tafsir al-Razi cetakan tahun 1981 dari Dar el-Fikr – Beirut setebal 32 jilid. Kalau beli mesti harganya dalam RM1k atau lebih. Jilid pertama adalah tafsiran Surah al-Fatihah dari hlm. 21 hingga hlm. 293. Ini adalah huraian surah al-Fatihah yang mempunyai 7 ayat sahaja.
Kataku: Ini dapat dilihat dari kemahiran penulisannya dalam membahagikan kategori, bab, penyelidikan dan tahap keilmuannya dalam bidang tersebut. Jika diambil dari aspek keilmuan dan kepakarannya, entah ke tahap mana yang kita boleh tandingi… ilmu kita di bawah kasutnya sahaja. Jika mahu menulis satu halaman pun entah berapa kali terhenti jika tidak menggunakan rujukan seperti ini. Inilah ulama Islam, wahai rakan-rakan blog sekalian!
Sambungan penjelasan Ibn Abi Usoibi’ah tadi pada jilid 2, hlm. 171 yang menerangkan biografi Syams al-Din Ahmad bin Khalil al-Khuyi bahawa beliaulah yang telah menyempurnakan Tafsir al-Quran yang diusahakan oleh Ibn Khathib al-Rayy. Dijelaskan bahawa Ibn Khathib al-Rayy adalah Fakhr al-Razi.
Ulas Ibn Abi Usoibi’ah mengenai biografi al-Khuyi, bahawa beliau sendiri mempelajari ilmu daripada al-Khuyi dan al-Khuyi pula sempat bersama Imam Fakhr al-Razi dan mengambil ilmu darinya.
Bila dilihat tarikh wafat mereka, Imam Fakhr al-Razi wafat 606H dan Ibn Abi Usoibi’ah wafat pada tahun 668H.
Dalam kitab Sejarah (al-Tarikh) karya Ibn Khalikan (jld. 1, hlm. 474) mengenai biografi al-Razi beliau menceritakan:
al-Razi mempunyai sebuah kitab Tafsir al-Quran yang dihimpunkan segala macam perkara pelik-pelik dan ia menjadi sangat tebal, namun dia tidak sempat menyempurnakannya. Huraian beliau mengenai surah al-Fatihah sahaja mencpai satu jilid. – Ibn Khalikan wafat pada tahun 681H.
Ibn al-Subki pula menulis dalam kitab Thabaqatnya (jld. 5, hlm. 35) mengenai biografi al-Razi beliau berkomentar: Tidak diketahui sama ada kitab tersebut sempat disiapkan atau tidak, namun dia mengulas di dalam (jld. 5, hlm. 179) mengenai biografi Najm al-Din, Ahmad bin Muhammad al-Qamuli: Beliau telah menyiapkan kitab tafsir Imam Fakhr al-Din. – Ibn al-Subki wafat pada 771H.
Di dalam kitab Syazarat al-Zahab fi Akhbar man Zahab karya Ibn al-Imad, Syihab al-Din Abu al-Falah, Abd al-Hayy bin Ahmad al-Hanbali (w1089H)) yang mengulas mengenai biografi al-Qamuli (jld. 6, hlm. 75). Al-Isnawi (ada orang tulis al-Asnawi – saya guna Isnawi sebab tempat kelahirannya di Isna di pinggir Kaherah) menyatakan:
Beliau telah menyiapkan Tafsir Ibn al-Khatib. Manakala al-Khatib adalah Fakhr al-Razi. Al-Isnawi wafat pada 771H.
Dalam kitab sama yang menyatakan biografi Fakhr al-Razi: berkata Ibn Qadhi Syahbah:
Antara karangannya adalah sebuah kitab tafsir yang tidak berjaya disiapkannya dalam 12 jilid yang tebal… Ibn Qadhi Syahbah wafat pada tahun 851H.
Jika persoalan ini masih menjadi tandatanya kerana beliau tidak sempat menyiapkan hasil kerjanya, siapakah pula yang menyempurnakan penulisannya ini?
Banyak pihak yang menyatakan bahawa mereka yang menyempurnakan kitab tersebut ialah al-Khuyi dan al-Qamuli. Secara terperincinya adalah seperti berikut:
1- Syams al-Din, Qadhi Qudhah Ahmad bin Khalil al-Khuyi (w637H). Ini adalah yang paling tepat dari aspek nama, gelaran, nasab dan wafatnya kerana terdapat kesilapan di dalam beberapa buah buku berkaitannya.
Beliau mempunyai seorang anak lelaki bernama Syihab al-Din, Qadhi Qudhah Muhammad bin Ahmad bin Khalil al-Khuyi (w637H). Seorang yang mahir dalam bidang hadis dan wafat pada tahun 693H.
Gelaran biasa gelaran Muhammad adalah Syams al-Din dan bagi mereka yang bernama Ahmad adalah Syihab al-Din. Berlaku kesilapan pada pengarang kitab Kasyf al-Zunun yang menjadikan gelaran bapanya sebagai Syihab al-Din.
2- Najm al-Din, Ahmad bin Muhammad al-Qamuli (w727H). Tarikh wafat dalam Khizanah al-Timuriyah menyatakan pada tahun 777H dan ini merupakan kesilapan yang berlaku kerana menyelisihi kesepakatan sejarawan Islam lain.
Segelintir ulama mendakwa bahawa Imam al-Suyuthi yang menyempurnakan Tafsir al-Razi ini yang ditulis dari Surah al-A’la (Kalau tak silap) hingga akhir al-Quran dalam satu jilid. Pengarang kitab Kasyf al-Zunun iaitu Haji Khalifah atau Katib Celebi telah menyatakan bahawa al-Suyuthi mempunyai sebuah kitab tafsir yang turut dinamakan juga dengan judul Mafatih al-Ghaib. Ini jelas menunjukkan bahawa kitab tersebut adalah kitab beliau sendiri dan bukannya kitab yang dibincangkan kini.
Perbincangan begitu panjang mengenai benarkah sambungan beberapa surah terkemudian diselenggarakan oleh orang lain? Jadi pengkaji dalam bahagian ini iaitu Syeikh Abd al-Rahman al-Mu’allimi dalam kitabnya bertajuk “Kajian Mengenai Tafsir al-Razi” mengupasnya begitu mendalam dan sukar dinyatakan di sini secara terperinci. Penyelidikan beliau melepasi pada segenap kaedah yang mampu membezakan teknik penulisan dan rujukan yang disampaikan oleh Imam al-Razi dengan penulis yang menyiapkan kitab tafsirnya ini.
Metod penulisan dan garapan yang telah disampaikan oleh Imam al-Razi mampu dibacanya dengan teliti dan dapat dibezakannya menerusi teknik al-Ihalah iaitu menukar bentuk garapannya dengan pentafsiran lain yang berbeza dengan gaya penjelasan Imam al-Razi sebelum itu.
Hingga beliau menjelaskan bahawa bahagian 1, 3, 5, 7 adalah karya al-Razi dan bahagian 2, 4 dan 6 adalah penulisan orang lain dan dapat dipastikan ia benar terjadi. 2 kebarangkalian yang dapat dihuraikan berkenaan perkara ini iaitu:
Imam al-Razi menyiapkan keseluruhan tafsirnya, namun sebahagian besarnya hilang dan kemudiannya disempurnakan oleh al-Khuyi dan selainnya.
Mungkin dia tidak mentafsirkan surah-surah tersebut pada asalnya yang merangkumi bahagian 2, 4 dan 6.
Kesimpulan yang beliau utarakan adalah seperti berikut:
Asal kitab ini adalah karya penulisan Fakhr al-Razi yang bermula dari surah pertama hingga akhir Surah al-Qasas, dari Surah al-Saffat hingga Surah al-Ahqaf, dari Surah al-Hadid, al-Mujadalah dan al-Hasyr, seterusnya dari Surah al-Mulk hingga akhir kitab. Surah yang selain dari itu adalah karangan Ahmad bin Khalil al-Khuyi yang menyempurnakannya. Apa yang dia siapkan itu merangkumi penambahan apa yang diulas pada asalnya dan itulah yang jelas dari pemerhatianku. Wallahu a’lam.
Kataku: Justeru itu, kitab tafsir ini adalah kitab yang cukup besar kerana merangkumi 32 jilid dalam kitab sekarang yang setiap satunya mencapai purata 250 halaman. Jika dicongak 250 X 32 jilid = kurang lebih 8,000 halaman. Banyak tu! Sesetengah ulama sendiri mengakui bahawa tidak diketahui terdapatnya sebuah kitab tafsir bi al-Ra`yi (aspek pandangan) yang sebesar dan setebal ini sebelumnya.
Dalam tafsir ini jika kita belajar, ia mempunyai dua bahagian iaitu:
1- Tafsir bi al-Ra’yi – menurut logika
2- Tafsir bi al-Ma’tsur – berpandukan nas
Oleh itu secara umumnya, tafsir beliau adalah sebuah tafsir yang membicarakan menurut logika dan kandungannya boleh dilihat pada mukadimahnya yang ditulis seperti berikut:
Keistimewaan Tafsir Ini:
Tidak banyak membicarakan perbincangan dan perbahasan. Berkata al-Safadi dalam kitabnya al-Wafi bi al-Wafayat: al-Razi membawa penulisan yang tidak pernah ditulis oleh tokoh sebelumnya dengan membuka setiap masalah dan mengkategorikannya dan diterangkan pula sub-topik pada setiap kategori tersebut… (panjang ceritanya). Beliau juga banyak mengambil ungkapan kata hukama dan ahli falsafah hingga menjadi takjub sebab macam-macam ilmu terkandung di dalamnya sewaktu menghuraikannya. Namun, keperibadian al-Razi cukup terserlah bila dia membicarakan mazhab falsafah yang diperkatakan pada masa itu dengan kupasan ilmunya yang luas serta akal yang terbimbing. Rahimahullah!
Qiraat – dia turut membentangkan jajaran ayat berkait dengan Qiraat yang pelbagai. Bahkan beliau turut mengeluarkan maknanya menurut bacaan Qiraat tersebut berlandaskan ilmu bahasa Arab dan pakar nahu.
Hadis – beliau kurang bersandarkan pada hadis dalam tafsirannya ini hatta dalam membicarakan soal fiqh dengan menyandarkan nama para ulama fiqh (kelainan yang dibawanya ini mungkin untuk menyekat pengaruh ahli falsafah pada zamannya itu, jadi logik akal lebih banyak digunakan daripada penggunaan dalil naqli yang bersandarkan al-Quran dan hadis – ini antara kepakaran ulama Islam yang menguasai keilmuan Islam yang luas dalam menghadapi seterunya dari pelbagai bentuk dan peringkat. Dalam menghadapi dakyah Kristianisasi suatu ketika dulu, pakar Perbandingan Agama seperti Ahmad Deedat cukup berkesan dalam menyekat kemaraan Kristianisasi sekalipun sesetengah pihak menganggap beliau bukan seorang tokoh yang mahir dalam menggunakan al-Quran dan hadis. Jadi Allah membezakan kita bagi memudahkan kita untuk emnyesuaikan diri kita mengikut kemampuan kita dalam menghadapi musuh-musuh Islam. Jika tiada pakar internet Islami, sudah pasti tidak ada orang yang dapat menyekat pengaruh musuh Islam di arena tersebut. Subhanallah!)
Syair – kebanyakan sajak dan puisinya adalah sebagai istisyhad (dalam bahasa kita kalimah apa yang paling sesuai untuk menyatakannya – sajak digunakan dalam berhujah, lebih kurang begitulah. Kalau Quran dan hadis disebut istidlal – dikemukakan dalil atau hujah, maka kena faham sendiri makna yang lebih best…) Sajak itu digunakan dalam mengukuhkan pandangan berkaitan bahasa, sastera dan kalimah yang sesuai dalam menghuraikannya. Ini cukup jelas dalam melihat pada keluasan ilmu dan pengetahuannya dalam lapangan bahasa dan kesusasteraan Arab dan kecairannya di bidang tersebut.
Sebab penurunan atau Asbab al-Nuzul – jika dalam hadis disebut Asbab al-Wurud iaitu sebab kedatangan/kemunculan. Dalam tafsir ini cukup banyak membicarakannya beserta sandaran atau tanpa sandaran yang kebiasaannya disandarkan kisah tersebut kepada para sahabat dan juga tabiin.

sumber Asal: